Ketika Al Quran bicara keluarga, sebagian besarnya adalah kisah yang -bagi kita- tidak termasuk standar keluarga ideal.
Mari kita lihat beberapa contoh:
Nabi Nuh dan Nabi Lut punya isu terkait istri-istri mereka.
Nabi Ibrahim ketika berstatus sebagai anak, harus berhadapan dengan ayahnya yang membuat patung.
Setelah menjadi ayah beliau terpaksa meninggalkan keluarganya di padang tandus.
Nabi Yaqub memiliki 12 anak. Namun yang 10 ingin membunuh saudaranya.
Nabi Yusuf tumbuh besar dengan derita dan terpisah jauh dari keluarga.
Nabi Zakaria baru beroleh anak di usia yang sangat, sangat tua; setelah istri beliau divonis mandul.
Nabi Musa ketika lahir, terpaksa dilarung di sungai. Berpisah dari ibunya. Remuk-redam hati ibu Musa.
Keluarga Imran memiliki anak, namun sang ayah sudah meninggal ketika putri beliau lahir.
Istri Imran berharap mendapatkan keturunan laki-laki, tapi diberikan perempuan.
Nabi Isa lahir tanpa ayah. Sang ibu, Maryam dihantam fitnah dan derita yang tak terperikan.
Asiyah binti Muzahim yang Allah janjikan rumah untuk beliau di surga, adalah istri dari laki-laki terburuk sepanjang sejarah: Firaun.
Para istri dari Nabi kita yang mulia, sebagian besarnya tidak memiliki keturunan sama sekali.
Sekarang coba kita bandingkan dengan zaman ini.
Hari ini kita punya standar keluarga ideal dari sinetron & drama. Atau dari citra sosial media dimana para selebriti membranding diri sebagai dream couple, dg semua pernak-pernik kehidupan yang indah.
Maka, kita-kita yang konsumtif ini, hanya bisa menonton tanpa filter. Tanpa sadar, kita buat standar keluarga ideal sendiri yang pastinya itu bukan keluarga kita.
Terlihat bedanya, bukan?
Al Quran tidak banyak bicara tentang “keluarga ideal dengan standar kita” itu.
Justru Al Quran bicara realita keluarga. Meski demikian, semua tokoh di atas adalah orang-orang yang sangat mulia, sampai-sampai kisah mereka, Allah sendiri yang mengabadikan.
Akan terus dipelajari sampai hari kiamat.
Hari ini, kita hanya sibuk bicara “keluarga ideal dengan standar kita” itu. Di satu sisi ada yang membranding diri sebagai yang ideal. Di sisi lain, yang menonton membandingkan keluarga mereka.
Klop lah!
Hidup menjadi penuh drama ketimbang menjalaninya sebagai realita. Dan kita mencukupkan diri belajar dari sosial media, ketimbang ngaji yang sesungguhnya.
Al Quran tidak kisahkan kepada kita “keluarga ideal dengan standar kita” itu. Kenapa?
Karena keluarga kita itu sudah ideal. Usah membanding-bandingkan. Cukup berikan yang terbaik untuk keluargamu, saat ini.
Apa yang kita pelajari tentang keluarga dalam Islam, amalkan lah dari sekarang. Kita tidak menunggu momen keluarga ideal.
Dan engkau perlu tahu, bahwa semua perjuangan: suka, duka, senyum, derita, bahagia, luka amarah dan cinta; di dalam rumahmu yang tak bisa viral itu, akan dicatat dalam amal kebaikan kita yang akan dipertontonkan kelak.
***
Maka, terima kasih atas 9 tahun yang inidah ini, my moonlight.
Semoga Allah akan membalas semua kebaikanmu, untukku, dan untuk anak-anak kita.
#facebook ust Fitrian Kadir